Pages

Diberdayakan oleh Blogger.

Sabtu, 18 April 2015

Nihilisme sebagai Ekses atau Dampak dari Postmodern

         Post-modernisme hakekatnya istilah yang masih kontorversial. Tonggak sejarah Barat yang dimulai dari aktifitas seni itu tidak jelas kapan bermula dan dalam bentuk apa. Ia merupakan proses perubahan dan reformasi yang panjang yang benih-benihnya telah ada pada zaman modern itu sendiri. Tapi meskipun terjadi perdebatan tentang hal itu, asumsi yang diterima umum adalah bahwa pertanda bangkitnya post-modernisme adalah berakhirnya modernitas. Menurut Silverman Post-Modernisme, yaitu suatu sistim tanpa pemikiran metafisis. Namun munculnya post-modernisme tidak hanya ditandai oleh penghapusan metafisika obyektif dengan sistim baru, tapi juga mengesampingkan atau malah meremehkan doktrin keagamaan yang berdasarkan pada metafisika. Titik perubahan dari metode berfikir metafisis kepada metode berfikir analitis dapat dirujuk kepada pandangan-pandangan Karl Marx dan Nietzsche tentang agama. Jadi, seperti yang telah disebutkan diatas, di era postmodern agama didekati dengan pemikiran yang telah bersifat ateistik. Pandangan para postmodernis tentang agama tercermin dari doktrin-doktrin mereka tentang nilai.
Doktrin yang dipergunakan para pemikir post-modern untuk menggugat agama adalah konsep mereka tentang nilai. Seperti disebutkan diatas, program post-modernisme adalah penghapusan nilai (dissolution of value) dan penggusuran tendensi yang mengagungkan otoritas. Hal ini dilakukan dengan mereduksi makna nilai yang dijunjung tinggi dan dinilai sebagai absolut oleh agama dan masyarakat. Doktrin penghapusan nilai yang terkenal yang di dengungkan pertama kali oleh Nietzsche (1844-1900) adalah doktrin nihilisme. Dalam karyanya  Will to Power Nietzsche menggambarkan nihilisme sebagai situasi dimana “manusia berputar dari pusat ke arah titik X”, artinya “nilai tertinggi mengalami devaluasi dengan sendirinya. Heidegger (1889-1976) dengan nada yang sama mendefinisikan nihilisme sebagai “suatu proses dimana pada akhirnya tidak ada lagi yang tersisa” Keduanya mempunyai mindset dan kecenderungan yang sama saja. Dalam pandangan Nietzsche proses nihilisme adalah devaluasi nilai tertinggi, yang membawa pada kesimpulan doktrin “kematian Tuhan”. Dalam pandangan Heidegger nihilisme menunjukkan penghapusan Being dengan sedemikian rupa sehingga menjelma menjadi nilai. Disini realitas tidak lagi difahami dalam bentuk suatu susunan dimana sang pencipta berada pada puncak hirarki yang absolut. Keduanya menuju suatu titik dimana manusia tidak lagi berpegang pada struktur nilai, nilai tidak lagi mempunyai makna. Suatu konsep tentang apapun tidak lagi berdasarkan pada sesuatu yang metafisis, relijius ataupun mengandung unsur ketuhanan (divine).
Meskipun doktrin yang kemudian dinamakan European nihilism ini mengusung proyek devaluasi nilai, namun mereka masih menganggap hal ini sebagai suatu jalan baru dalam menentukan konsep nilai yang berbeda dari kepercayaan dalam agama. Nilai tidak lagi berkaitan dengan agama dan kepercayaan. Jadi nihilisme, kata Snyder, berhubungan dengan perubahan kebenaran ke dalam nilai, tapi nilai yang telah diwarnai oleh kepercayaan dan opini manusia. Dalam terminologi Nietzsche perubahan kebenaran menjadi sekedar nilai berbentuk apa yang dia istilahkan  “will to power.” Ini berarti bahwa filsafat nihilism bertujuan untuk mengkaji dan kemudian menghapuskan segala klaim yang dilontarkan oleh pemikiran metafisika tradisional. Metafisika, dimana konsep Tuhan merupakan fondasi pemikiran dan nilai dihilangkan atau disingkirkan. Sebab, seperti yang dinyatakan oleh Nietzsche, ketika metafisika telah mencapai suatu poin dimana kebenaran telah dianggap seperti Tuhan, sebenarnya itu tidak lebih dari nilai-nilai yang subyektif  yang boleh jadi salah sepertimana kepercayaan dan opini manusia yang lain. Baginya tidak ada perbedaan antara benar dan salah, keduanya hanyalah kepercayaan yang salah (delusory) yang keduanya tidak dapat diandalkan. Maka dari itu, kalau kita menolak kesalahan kita juga harus menolak kebenaran. Membuang yang satu berarti juga harus membuang yang lain (to do away with one is to do away with other too). Berdasarkan pada doktrin ini maka Nietzsche mendefinisikan metafisika secara pejoratif sebagai “ilmu yang membahas tentang kesalahan manusia yang fundamental, seakan-akan semua itu kebenaran yang fundamental”. Serangan doktrin nihilisme terhadap metafisika ini menunjukkan dengan jelas serangan terhadap agama sebagai asas bagi moralitas.
Teori tentang European nihilism dapat dilihat dengan lebih jelas lagi dari apa yang kini disebut sebagai “the philosophy of difference”, yang dinisbatkan kepada Nietzsche and Heidegger. Segala perbedaan antara kepalsuan dan kebenaran, rasional dan irrasional harus di letakkan di luar jangkauan bahasa dan konsep-konsep yang melekat dengannya. Difference adalah produk dari “will to power”  (kehendak untuk berkuasa) yang ada dalam diri manusia atau kehendak untuk menafsirkan (will to interpret). Ini berarti bahwa segala sesuatu yang kita hadapi dalam pengalaman kita di dunia tidak kurang dan tidak lebih dari suatu penafsiran; dan segala sesuatu di dunia ini selalu ditafsiri  sesuai dengan nilai-nilai subyektif dalam diri kita. Karena kecenderungan untuk selalu menafsirkan itulah maka bagi post-modernis dunia yang dapat diketahui hanyalah dunia yang berbeda-beda atau dunia interpretasi. The philosophy of difference ini kemudian menjadi salah satu penghubung antara nihilisme dan hermeneutika (filsafat interpretasi).
Jadi, singkatnya nihilisme dan filsafat perbedaan (philosophy of difference) merupakan tanda berkembangnya post-modernisme yang pada perkembangan berikutnya menjadi penolakan terhadap kebenaran transenden. Ernest Gellner menyatakan bahwa atmosfir pemikiran post-modern dapat digambarkan melalui pernyataan bahwa “segala sesuatu adalah teks, dan materi dasar teks itu yang berupa masyarakat dan bahkan nyaris segala sesuatu difahami sebagai makna, dan makna itu harus didekonstruksi; pernyataan tentang realitas obyektif harus dicurigai”. Formulasi Gellner adalah tepat sebab dalam diskursus para pemikir post-modernis dunia ini dianggap sebagai makna. Bahkan segala sesuatu adalah makna dan makna adalah segala sesuatu, dan hermeneutika adalah “nabinya”. Dalam kondisi yang seperti ini, Gellner bahkan sampai pada kesimpulan bahwa post-modernisme cenderung memihak kepada relativisme dan bahkan menunjukkan peperangan terhadap ide kebenaran yang ekslusif, obyektif dan transenden. Sebab pikiran post-modern berpegang pada pendapat bahwa kebenaran adalah sesuatu yang internal dan subyektif sifatnya, sedangkan dunia ini bukan sebagai totalitas dari sesuatu, tapi sebagai totalitas fakta.
 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

 

Blogger news

Blogroll

About