Post-modernisme
hakekatnya istilah yang masih kontorversial. Tonggak sejarah Barat yang dimulai
dari aktifitas seni itu tidak jelas kapan bermula dan dalam bentuk apa. Ia
merupakan proses perubahan dan reformasi yang panjang yang benih-benihnya telah
ada pada zaman modern itu sendiri. Tapi meskipun terjadi perdebatan tentang hal
itu, asumsi yang diterima umum adalah bahwa pertanda bangkitnya post-modernisme
adalah berakhirnya modernitas. Menurut Silverman Post-Modernisme,
yaitu suatu sistim
tanpa pemikiran metafisis. Namun munculnya post-modernisme tidak hanya ditandai
oleh penghapusan metafisika obyektif dengan sistim baru, tapi juga
mengesampingkan atau malah meremehkan doktrin keagamaan yang berdasarkan pada
metafisika. Titik perubahan dari metode berfikir metafisis kepada metode
berfikir analitis dapat dirujuk kepada pandangan-pandangan Karl Marx dan Nietzsche tentang agama. Jadi, seperti yang telah disebutkan
diatas, di era postmodern agama didekati dengan pemikiran yang telah bersifat
ateistik. Pandangan para postmodernis tentang agama tercermin dari
doktrin-doktrin mereka tentang nilai.
Doktrin
yang dipergunakan para pemikir post-modern untuk menggugat agama adalah konsep
mereka tentang nilai. Seperti disebutkan diatas, program post-modernisme adalah
penghapusan nilai (dissolution of value) dan penggusuran tendensi yang
mengagungkan otoritas. Hal ini dilakukan dengan mereduksi makna nilai yang
dijunjung tinggi dan dinilai sebagai absolut oleh agama dan masyarakat. Doktrin
penghapusan nilai yang terkenal yang di dengungkan pertama kali oleh Nietzsche
(1844-1900) adalah doktrin nihilisme. Dalam karyanya Will to Power
Nietzsche menggambarkan nihilisme sebagai situasi dimana “manusia berputar dari
pusat ke arah titik X”, artinya “nilai tertinggi mengalami devaluasi dengan
sendirinya. Heidegger (1889-1976) dengan nada yang sama mendefinisikan
nihilisme sebagai “suatu proses dimana pada akhirnya tidak ada lagi yang
tersisa” Keduanya mempunyai mindset dan kecenderungan yang sama saja. Dalam
pandangan Nietzsche proses nihilisme adalah devaluasi nilai tertinggi, yang
membawa pada kesimpulan doktrin “kematian Tuhan”. Dalam pandangan Heidegger
nihilisme menunjukkan penghapusan Being dengan sedemikian rupa sehingga
menjelma menjadi nilai. Disini realitas tidak lagi difahami dalam bentuk suatu
susunan dimana sang pencipta berada pada puncak hirarki yang absolut. Keduanya
menuju suatu titik dimana manusia tidak lagi berpegang pada struktur nilai,
nilai tidak lagi mempunyai makna. Suatu konsep tentang apapun tidak lagi
berdasarkan pada sesuatu yang metafisis, relijius ataupun mengandung unsur
ketuhanan (divine).
Meskipun
doktrin yang kemudian dinamakan European nihilism ini mengusung proyek
devaluasi nilai, namun mereka masih menganggap hal ini sebagai suatu jalan baru
dalam menentukan konsep nilai yang berbeda dari kepercayaan dalam agama. Nilai
tidak lagi berkaitan dengan agama dan kepercayaan. Jadi nihilisme, kata Snyder,
berhubungan dengan perubahan kebenaran ke dalam nilai, tapi nilai yang telah
diwarnai oleh kepercayaan dan opini manusia. Dalam terminologi Nietzsche
perubahan kebenaran menjadi sekedar nilai berbentuk apa yang dia
istilahkan “will to power.” Ini berarti bahwa filsafat nihilism bertujuan
untuk mengkaji dan kemudian menghapuskan segala klaim yang dilontarkan oleh
pemikiran metafisika tradisional. Metafisika, dimana konsep Tuhan merupakan
fondasi pemikiran dan nilai dihilangkan atau disingkirkan. Sebab, seperti yang
dinyatakan oleh Nietzsche, ketika metafisika telah mencapai suatu poin dimana
kebenaran telah dianggap seperti Tuhan, sebenarnya itu tidak lebih dari
nilai-nilai yang subyektif yang boleh jadi salah sepertimana kepercayaan
dan opini manusia yang lain. Baginya tidak ada perbedaan antara benar dan
salah, keduanya hanyalah kepercayaan yang salah (delusory) yang keduanya tidak
dapat diandalkan. Maka dari itu, kalau kita menolak kesalahan kita juga harus
menolak kebenaran. Membuang yang satu berarti juga harus membuang yang lain (to
do away with one is to do away with other too). Berdasarkan pada doktrin ini
maka Nietzsche mendefinisikan metafisika secara pejoratif sebagai “ilmu yang
membahas tentang kesalahan manusia yang fundamental, seakan-akan semua itu kebenaran
yang fundamental”. Serangan doktrin nihilisme terhadap metafisika ini
menunjukkan dengan jelas serangan terhadap agama sebagai asas bagi moralitas.
Teori
tentang European nihilism dapat dilihat dengan lebih jelas lagi dari apa yang
kini disebut sebagai “the philosophy of difference”, yang dinisbatkan kepada
Nietzsche and Heidegger. Segala perbedaan antara kepalsuan dan kebenaran,
rasional dan irrasional harus di letakkan di luar jangkauan bahasa dan
konsep-konsep yang melekat dengannya. Difference adalah produk dari “will to
power” (kehendak untuk berkuasa) yang ada dalam diri manusia atau
kehendak untuk menafsirkan (will to interpret). Ini berarti bahwa segala
sesuatu yang kita hadapi dalam pengalaman kita di dunia tidak kurang dan tidak
lebih dari suatu penafsiran; dan segala sesuatu di dunia ini selalu
ditafsiri sesuai dengan nilai-nilai subyektif dalam diri kita. Karena
kecenderungan untuk selalu menafsirkan itulah maka bagi post-modernis dunia
yang dapat diketahui hanyalah dunia yang berbeda-beda atau dunia interpretasi.
The philosophy of difference ini kemudian menjadi salah satu penghubung antara
nihilisme dan hermeneutika (filsafat interpretasi).
Jadi,
singkatnya nihilisme dan filsafat perbedaan (philosophy of difference)
merupakan tanda berkembangnya post-modernisme yang pada perkembangan berikutnya
menjadi penolakan terhadap kebenaran transenden. Ernest Gellner menyatakan
bahwa atmosfir pemikiran post-modern dapat digambarkan melalui pernyataan bahwa
“segala sesuatu adalah teks, dan materi dasar teks itu yang berupa masyarakat dan
bahkan nyaris segala sesuatu difahami sebagai makna, dan makna itu harus
didekonstruksi; pernyataan tentang realitas obyektif harus dicurigai”.
Formulasi Gellner adalah tepat sebab dalam diskursus para pemikir post-modernis
dunia ini dianggap sebagai makna. Bahkan segala sesuatu adalah makna dan makna
adalah segala sesuatu, dan hermeneutika adalah “nabinya”. Dalam kondisi yang
seperti ini, Gellner bahkan sampai pada kesimpulan bahwa post-modernisme
cenderung memihak kepada relativisme dan bahkan menunjukkan peperangan terhadap
ide kebenaran yang ekslusif, obyektif dan transenden. Sebab pikiran post-modern
berpegang pada pendapat bahwa kebenaran adalah sesuatu yang internal dan
subyektif sifatnya, sedangkan dunia ini bukan sebagai totalitas dari sesuatu, tapi
sebagai totalitas fakta.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar